09 Mar 2008 sumber :
http://dahlaniskan.wordpress.com
Catatan Dahlan Iskan
Inti dari seluruh persoalan
Persebaya adalah ini:
- Yang memiliki tidak mampu
- Yang mampu tidak memiliki
Siapakah yang memiliki Persebaya?
Semua sudah tahu. Pemilik Persebaya adalah klub-klub anggota Persebaya (IM,
Sakti, Gelora, Asyabaab, dan seterusnya itu).
Suporter, pemkot, pencinta,
penggila, pencoleng, penggerogot, benalu, dan pengobyek hanyalah konsumen
Persebaya. Memang, dalam dunia manajemen modern, ada istilah untuk mereka itu:
stake holder. Tapi, tetap saja bukan pemilik.
Sehebat-hebat Anda mencintai
Persebaya, tetaplah Anda bukan pemilik Persebaya. Biar pun Anda sampai pernah
nekat menipu orang tua, membohongi istri, jualan celana, mencopet, dan memaksa
sopir truk, semata-mata bukan karena Anda orang jahat, melainkan agar bisa
mendukung Persebaya, tetaplah Anda bukan pemilik Persebaya.
Saya pernah menjelaskan kepada
seorang pengusaha yang pernah dimintai uang senilai harga karcis stadion oleh
suporter yang menggerombol di pinggir jalan. Pengusaha tersebut ndongkol sekali
karena merasa diperas. Untuk menghibur hatinya, saya jelaskan kepada dia
bagaimana logika cara berpikir suporter tersebut.
Begini: di dalam hati suporter itu,
dia tidak merasa lagi memeras. Dia merasa sedang berjuang untuk mendukung
Persebaya. Saya membedakan antara mendukung dan menonton. Kalau menonton, dia
harus punya uang. Tapi, kalau mendukung, bisa harus punya uang, bisa juga hanya
bermodal nekat. Inilah asbabun nuzul-nya istilah bonek.
Kebetulan, yang minta uang kepada
teman saya tersebut tidak punya uang. Tapi, dia merasa harus berjuang mendukung
Persebaya. Untuk itu, dia merasa rela berkorban berjalan kaki dari rumahnya
yang jauh, berpanas-panas, dan berteriak-teriak.
Untuk bisa berjuang lebih maksimal,
dia harus bisa masuk stadion. Sekali lagi, dia tidak ingin menonton dalam
pengertian menikmati jalannya pertandingan. Kalau toh ada, mungkin hanya 25
persen. Yang 70 persen adalah ingin mewujudkan dukungannya agar Persebaya
menang.
Karena tidak punya uang, bagaimana
agar bisa memberikan dukungan maksimal? Maka, dia berpikir begini: “Mengapa
untuk membela Persebaya hanya dia yang harus berkorban (jalan kaki,
teriak-teriak, berpanas-panas, dlsb)? Mengapa yang punya uang seperti teman
saya itu tidak ikut berkorban untuk Persebaya-kita? Dia berpikir, teman saya
itu mungkin tidak punya waktu untuk mendukung Persebaya dengan cara datang ke
stadion. Maka, biarlah dia yang datang ke stadion, tapi uangnya harus dari
teman saya itu. Dia berpikir sudah seharusnya siapa pun warga Surabaya
memberikan dukungan ke Persebaya”.
Jadi, di dalam masyarakat, ada dua
logika yang bertentangan. Teman saya punya logika, kalau mau nonton, ya harus
punya uang. Suporter itu punya logika, semua orang Surabaya harus mau berkorban
untuk Persebaya. Kalau tidak mau berkorban waktu dan energi fisik, apa salahnya
berkorban uang? Toh, kalau Persebaya menangan, yang bangga bukan hanya dia,
tapi semua orang Surabaya!
Jadi, kata saya kepada teman saya
tersebut, dia itu sama sekali tidak merasa jadi pemeras, melainkan merasa
sedang jadi pejuang! Bahwa caranya seperti itu, bahwa logikanya seperti itu, ya
begitulah logika orang Surabaya tadi. Dan pemilik logika seperti itu bukan
hanya orang Surabaya (meski ini khas Surabaya).
Lihatlah film Nagabonar atau
Nagabonar Jadi Dua! Kurang lebih logika Nagabonar itulah yang terjadi. Logika
dia, orang yang punya uang harus ikut berjuang, sopir truk harus ikut berjuang,
masinis kereta api harus ikut berjuang. Dia saja yang miskin mau berjuang,
mengapa yang mampu tidak mau? Dia justru merasa aneh kalau ada orang yang
mengatakan bahwa dia itu pemeras. Dia justru berpikir: orang-orang itu gila,
diajak berjuang kok ngomel, tidak ikhlas dan perhitungan. Dia mengatakan pada
dirinya sendiri: Lihat saya ini, tidak punya apa-apa saja mau berjuang!
Mendukung Persebaya bagi dia adalah
berjuang. Bukan menonton!
Tapi, sungguh kasihan. Suporter yang
merasa sedang jadi pejuang tersebut, tetaplah bukan pemilik Persebaya. Pemilik
Persebaya tetaplah klub-klub anggota Persebaya saja. Klub-klub yang sebenarnya
sudah tidak mampu lagi menjadi pemilik Persebaya. Ini bukan kesalahan klub-klub
itu sendiri. Ini hanya sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman.
Ibaratnya, ada seorang guru yang
dulu mendirikan dan memiliki rumah di Jalan Pabrice Lumumba. Jalan itu
lama-kelamaan dilebarkan menjadi delapan lajur, sehingga rumahnya tinggal
beberapa meter saja. Bahkan, akibat perkembangan kota yang pesat, jalan
tersebut menjadi jalan utama di Surabaya dan pada 1965 namanya berganti menjadi
Jalan Raya Darmo. NJOP-nya pun pada 2007 sudah mencapai Rp 10 juta/meter.
Sebagai orang yang tetap berstatus guru, kini dia tidak lagi mampu membayar
pajak PBB-nya. Biar pun tidak ada peraturan bahwa guru dilarang tinggal di
Jalan Raya Darmo, namun dia harus membuat keputusan. Apalagi, dia kini sudah
amat tua dan tidak punya anak.
Kini, pilihannya hanyalah: menjual
tanah yang tinggal beberapa meter itu. Harganya tidak bisa tinggi karena tidak
cukup untuk mendirikan sebuah rumah mewah. Kebetulan, meski di Jalan Darmo,
tapi berada di sudut jalan, sehingga hanya dua rumah di sebelah kiri dan
belakangnya yang masih mau membeli. Kalau tanah itu masih sedikit berharga, itu
hanyalah karena namanya yang besar, yakni berada di Jalan Raya Darmo.
Kalau saya ditanya sang guru akan
diapakan tanahnya di Jalan Raya Darmo itu, saya akan sarankan agar dijual saja,
meski harganya tidak bisa tinggi. Kalau tidak dijual, sampai dia mati tidak
akan ada orang yang mau menyumbang membayarkan PBB-nya. Tapi, untuk apa hasil
penjualan tanahnya tersebut? Saya sarankan, hasil penjualan tanah itu bisa
dipakai untuk mendirikan sekolah sepak bola.
Bisa saja dia mokong, karena mokong
adalah juga menjadi haknya. Bisa saja dia bertekad untuk mati di lokasi itu.
Tidak ada orang yang membunuhnya karena dia mati akibat stres memikirkan pajak
tanahnya yang di luar kemampuannya untuk membayar. Padahal, dia telanjur
berwasiat agar kalau mati nanti harus dikuburkan di tanah yang bagi dirinya
sangat bersejarah itu. Dia tidak peduli apakah kuburannya tersebut nanti
mengganggu warga kota secara keseluruhan atau tidak. (bersambung)