10 Maret 2008
Catatan Dahlan Iskan
Mengapa di Persebaya ini “yang
memiliki tidak mampu dan yang mampu tidak memiliki”?
Penyebabnya sangat mendasar. Dan,
celakanya, hal itu hanya akan bisa dipahami oleh orang yang selalu peka
terhadap adanya perubahan zaman.
Orang yang pikirannya tradisional
bukan hanya tidak bisa memahaminya, bahkan pasti akan menolak. Jadi, penjelasan
yang akan saya sampaikan ini pun mungkin juga hanya akan bisa dipahami justru
oleh orang-orang yang berada di luar klub-klub pemilik Persebaya.
Penyebab mendasar itu adalah bentuk
organisasi klub-klub pemilik Persebaya tersebut. Bentuk “klub” atau
“persyarikatan” atau “perkumpulan” memiliki kelemahan yang mendasar dilihat
dari segi tiadanya otoritas yang tegas.
Dalam sebuah klub, atau
persyarikatan, atau perkumpulan, hak semua anggota sama. Tanggung jawabnya
sama. Memang, ada mekanisme “suara terbanyak” dalam proses pengambilan
keputusannya, tapi tidak memiliki konsep “exit” yang mudah.
Mekanisme “suara terbanyak” tidak
bisa meredakan konflik terselubung. Sebab, kalau yang tidak setuju mencapai
lebih dari 30 persen, meski tetap kalah, kekalahannya membawa kekecewaan yang
menghambat kemajuan klub.
Konsep suara terbanyak sendiri
sebenarnya sudah bertentangan dengan filsafat dasar sebuah klub, atau
persyarikatan, atau perkumpulan yang semestinya mengutamakan persaudaraan,
kebersamaan, dan kesepakatan. Bukan voting-votingan. Zaman dulu, konsep
kekerabatan dan persaudaraan memang sangat cocok karena tantangan juga belum
banyak.
Tapi, dengan berubahnya zaman,
konsep seperti itu sudah tidak cocok lagi. Itulah sebabnya, belakangan bentuk
seperti klub dan perkumpulan tidak diakui lagi sebagai “badan hukum”. Bahkan,
CV pun sudah tidak diakui lagi sebagai badan hukum.
Tapi, saya tidak membicarakan segi
keabsahannya sebagai badan hukum. Saya mau mengemukakan bahwa bentuk
perkumpulan memang tidak mungkin bisa membawa kemajuan.
“Zaman baru” memerlukan pembagian
tanggung jawab yang jelas. Bentuk persaudaraan dan perkumpulan secara mendasar
tidak bisa menjawab rumusan pembagian tanggung jawab itu.
Saya sering ke terminal. Tentu saja
amat kotor dari sudut pandang pelayanan modern sekarang. Di tembok terminal
sering saya lihat tulisan “Kebersihan adalah tanggung jawab kita bersama”.
Setelah membaca tulisan itu, apakah semua orang merasa bertanggung jawab atas
kebersihan terminal? Tidak!
Justru tidak ada yang merasa
bertanggung jawab. Karena itu, di sekitar tulisan tersebut justru terlihat
kekotoran.
Kebersihan terminal mestinya bukan
tanggung jawab bersama. Kebersihan terminal adalah tanggung jawab bagian
kebersihan! Kalau bagian kebersihannya tidak jalan, itu menjadi tanggung jawab
kepala terminal! Kalau ada kepala terminal menyuruh menempelkan tulisan
“Kebersihan adalah tanggung jawab kita bersama”, itu artinya kepala terminalnya
ingin tidak bertanggung jawab!
Bentuk klub atau perkumpulan kurang
lebih mirip itu. Mengapa CLS sebagai klub basket yang hebat di Surabaya tidak
pernah menjadi juara nasional? Antara lain, juga karena berbentuk perkumpulan.
Maka, kalau tetap mempertahankan
bentuk klub, sudah diketahui bahwa masa depannya tidak ada lagi. Bisa jalan di
tempat sudah amat baik. Dan, kalau Persebaya dimiliki klub-klub, lebih susah
lagi. Klubnya saja sudah susah, apalagi Persebayanya.
Memang, Persebaya masih bisa maju.
Tapi, sifatnya sangat temporer. Tidak bisa diproyeksikan. Kalau pas ada orang
yang gila, tercapailah kemajuan itu. Kalau yang gila sudah waras, mundur lagi
dan banyak problem lagi. Kalau yang gila sudah waras, harus mencari yang gila
lagi. Nah, apakah kita akan selalu bisa mencari orang gila?
Mungkin saja kita akan selalu
menemukan orang gila. Apalagi gila yang dibuat-buat saat Persebaya bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Apakah saya setuju Persebaya menjadi
PT? Saya tidak setuju pun, Persebaya harus menjadi PT! Pilihannya hanya menjadi
PT atau mati. Sedangkan klub-klub berubah menjadi sekolah sepak bola. Kompetisi
intern Persebayanya menjadi kompetisi antarsekolah sepak bola.
Hanya, memang tidak perlu buru-buru.
Lima tahun lagi juga tidak apa-apa. Dalam lima tahun ini, saya kira, Persebaya
masih akan selalu menemukan orang gila. Mumpung lagi banyak orang gila, ini
bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya. Lima tahun lagi tidak banyak lagi orang gila.
Apalagi, 10 tahun lagi.
No comments:
Post a Comment