Football is an incredible game. Sometimes it's so
incredible, it's unbelievable.
~Tom Landry
Sepakbola itu menarik semua level
umur manusia,dari kecil sampai besar hampir semuanya menyukai apa itu permainan
dengan bola. Bahkan ada suatu survey yang mengatakan bahwa alat bermain pertama
bagi bayi laki-laki adalah bola !
Beberapa hari lalu mundul berita
yang mengabarkan bahwa Grup Bakrie lewat Pelita membeli sebuah klub bernama
Bandung Raya,sebuah klub yg dulu professional tapi sekarang sudah di amatir.
Bandung Raya pernah menjadi juara di salah satu edisi liga Indonesia saat masih
bernama Mastrans Bandung Raya (MBR). Saat itu mereka dihuni beberapa pemain
berkualitas macam Peri Sandria,Nur Alim dan juga yg fenomenal Dejan Glusevic.
Apa yang menarik disini adalah
kembalinya klub “tua” untuk muncul dipermukaan lagi ditengah carut marut
persepakbolaan di tanah air,satu sisi kita butuh orang-orang yang peduli dengan
kekuatan modalnya sisi lain kita juga butuh orang yang cinta bola juga secara
utuh.
Nostalgia akan klub lama jadi
muncul sesaat terpikir klub-klub tersebut adalah para pendiri kompetisi bernama
Galatama. Secara kepemilikan klub tersebut jelas secara “professional” siapa
yang memilikinya dalam arti mendanai klub baik gaji pemain,pelatih dan lainnya.
Hal ini yang membedakan dengan klub sekarang terutama yang berada di bawah
kompetisi Liga Prima. Klub tersebut dimiliki oleh sebuah konsursium yang
membentuk suatu manajemen untuk mengelola klub menjalankan kompetisi ,secara
tanggung jawab mereka langsung ke konsursium. Disini agak kabur kepemilikan
klub yang ada hanya didanai oleh konsursium.
Dulu klub Galatama dimiliki oleh
seorang pengusaha yang “gila” bola dan bener-bener total mereka keluar uang
untuk menjalankan klub. Sebut saja TD Pardede punya hotel dan sekolah membentuk
Pardedetex di Medan, Benny Mulyono punya pabrik cat Warna Agung dengan klub
Warna Agung, Benny Ardi pemilik PT Tempo pemilik dua klub
sekaligus Tunas Inti dan Tempo Utama, Sigit Hardjojudanto, dengan Arseto Solonya
, sedangkan A. Wenas adalah pengusaha di
kawasan Indonesia Timur juga mendirikan Niac Mitra di Surabaya. Masih ada
beberapa klub lagi seperti Perkesa78, Jayakarta,Cahaya Kita.
Kepemilikan klub yang jelas ini bisa
dengan jelas akan meminta tanggung jawab kesiapa andai kasus yang saat ini
menghinggapi beberapa klub di bawah konsursium terutama masalah gaji baik
pemain,staf pelatih bahkan manajemen.Kemana pemain dan staf pelatih meminta hak
mereka ,semua berpusat di konsursium yang mereka sendiri tidak mengerti kepada
siapa di konsursium tersebut.
Walau ada beberapa berita negative tentang
galatama tetep harus kita beri nilai lebih terhadap pengusaha/orang bola
tersebut dalam membiayai klub tersebut. Bukan mau mundur tapi andai ada
pengusaha yang peduli pada klub yang sudah sekarat/mati suri itu dan dihidupkan
lagi pasti aka nada semangat baru bagi stake holder bola lain demi kemajuan
sepakbola nasional.
Semisal sebuah konglomerat Indofood
menghidupkan kembali Indocement , Jawa Pos Grup menghidupi Niac Mitra /
Persebaya , Gudang Garam jadi memiliki klub sendiri,Para Grup memiliki juga dan
banyak lagi,pasti akan menumbuhkan semangat baru. Akan tetapi semua tetap harus
berpusat ke federasi sebagai wadah resmi sebuah kompetisi yang punya aturan
game dan organisasi yang konsisten dan dikelola orang yang tepat dan cinta
bola. Akankah muncul Erric Tohir lain yang mau mengelola klub sepakbola secara
penuh sebagai suatu kecintaan dan bisnis ? apapun sepakbola sudah menjadi
bisnis atau industry tersendiri.
Semua ini juga kembali ke federasi
kita yang masih kacau,apapun besar keinginan seseorang mengelola sebuah klub
kalau wadah kompetisi atau rumah (federasi) nya kacau tetap saja akan sia-sia.
Semangat seporter,semangat pecinta/pengusaha bola akan lebih besar lagi jika
federasi yang ada berangsur membaik dan mengelola kompetisi secara baik dan
benar.
Football doesn't build character, it
reveals character! – Marv Levy
*foto : sumber google
No comments:
Post a Comment